Mati sekalian orangnya itu,
Ditimpa lumpur, api, dan abu.
Pulau Sebuku dikata orang,
Ada seribu lebih dan kurang,
Orangnya habis nyatalah terang,
Tiadalah hidup barang seorang.
Rupanya mayat tidak dikatakan,
Hamba melihat rasanya pingsan,
Apalah lagi yang punya badan,
Harapkan rahmat Allah balaskan
Halaman penutup Syair Lampung Karam, yang
ditulis Muhammad Saleh, tentang kesaksian meletusnya Gunung Krakatau
pada tahun 1883. Letusan gunung tersebut menimbulkan tsunami dan
gelombang laut setinggi 40 meter, serta mengakibatkan setidaknya 36.000
orang tewas.
Berita ditemukannya satu-satunya
sumber pribumi tertulis yang memuat kesaksian mengenai letusan Gunung
Krakatau pada tahun 1883 mengejutkan banyak orang. Dalam tempo 48 jam,
berita yang dimuat pertama kali di Kompas online (www.kompas.com) itu diunduh sekitar 14.000 orang dari berbagai belahan dunia. Kemudian berita itu dikutip berbagai media.
Menariknya, tidak hanya
ditemukan 125 tahun setelah gunung tersebut meletus, tetapi ditemukan
terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang tersimpan di enam negara,
yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia.
Adalah
ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, Suryadi, yang
mengungkapkan semua itu setelah melakukan penelitian komprehensif
selama lebih kurang dua tahun. Setelah ia alih aksarakan naskah kuno
tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu
mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang
jurnalis.
”Laporan orang asing yang
selama ini ada tentang letusan Gunung Krakatau tahun 1883 itu lebih
menekankan aspek geologisnya. Letusan itu menewaskan lebih dari 36.000
orang. Adapun laporan Muhammad Saleh lebih pada aspek humanis,
kemanusiaan, akibat letusan itu,” kata Suryadi yang sebelumnya juga
menemukan bagian sejarah Dinasti Kerajaan Gowa yang hilang.
Kesaksian langka
Jauh sebelum peneliti asing
menulis tentang meletusnya Gunung Krakatau (Krakatoa, Carcata) tanggal
26, 27, dan 28 Agustus 1883, seorang pribumi telah menuliskan kesaksian
yang amat langka dan menarik, tiga bulan pascameletusnya Krakatau,
melalui Syair Lampung Karam yang tiga bait di antaranya telah
dikutipkan di atas.
Menurut
Suryadi, kajian-kajian ilmiah dan bibliografi mengenai Krakatau
hampir-hampir luput mencantumkan satu-satunya sumber pribumi tertulis
yang mencatat kesaksian mengenai letusan Krakatau pada tahun 1883 itu.
”Dua tahun penelitian saya menemukan satu-satunya kesaksian pribumi
dalam bentuk tertulis,” katanya.
Sebelum
meletus tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, Gunung Krakatau telah
batuk-batuk sejak 20 Mei 1883. Letusan dahsyat Krakatau menimbulkan
awan panas setinggi 70 kilometer, tsunami setinggi 40 meter, dan
menewaskan sekitar 36.000 orang.
Sebelum meletus pada 1883
Gunung Krakatau di Selat Sunda pernah meletus sekitar tahun 1680.
Letusan itu memunculkan tiga pulau yang saling berdekatan, Pulau
Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata.
Suryadi menjelaskan, selama ini
yang menjadi bacaan tentang letusan Gunung Krakatau adalah laporan
penelitian lengkap GJ Symons dkk, The Eruption of Krakatoa and
Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal
Society (London, 1888).
Adapun sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litography)
tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H (November 1883-Oktober
1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki
oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman).
”Tak lama kemudian muncul edisi
kedua syair ini dengan judul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42
halaman). Edisi kedua ini juga diterbitkan di Singapura pada 2 Safar
1302 H (21 November 1884),” paparnya.
Edisi
ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air
Laut (49 halaman) yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga ini
juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3
Januari 1886). Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair
Negeri Anyer Tenggelam.
”Edisi keempat syair ini, edisi
terakhir sejauh yang saya ketahui, berjudul Inilah Syair Lampung Karam
Adanya (36 halaman). Edisi keempat ini juga diterbitkan di Singapura,
bertarikh 10 Safar 1306 Hijriah (16 Oktober 1888),” ungkap Suryadi,
yang puluhan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal
internasional.
Terdapat variasi
Menurut Suryadi, khusus teks
keempat edisi syair itu ditulis dalam bahasa Melayu dan memakai aksara
Arab-Melayu (Jawi). Dari perbandingan teks yang ia lakukan terdapat
variasi yang cukup signifikan antara masing-masing edisi. Ini
mengindikasikan pengaruh kelisanan yang masih kuat dalam tradisi
keberaksaraan yang mulai tumbuh di Nusantara pada paruh kedua abad
ke-19.
Suryadi yang berhasil
mengidentifikasi tempat penyimpanan eksemplar seluruh edisi Syair
Lampung Karam yang masih ada di dunia sampai saat ini menyebutkan,
Syair Lampung Karam ditulis Muhammad Saleh. Ia mengaku menulis syair
itu di Kampung Bangkahulu (kemudian bernama Bencoolen Street) di
Singapura.
”Muhammad Saleh mengaku berada
di Tanjung Karang ketika letusan Krakatau terjadi dan menyaksikan
akibat bencana alam yang hebat itu dengan mata kepalanya sendiri.
Sangat mungkin si penulis syair itu adalah seorang korban letusan
Krakatau yang pergi mengungsi ke Singapura dan membawa kenangan
menakutkan tentang bencana alam yang mahadahsyat itu,” katanya.
Revitalisasi
Suryadi berpendapat, Syair
Lampung Karam dapat dikategorikan sebagai ”syair kewartawanan” karena
lebih kuat menonjolkan nuansa jurnalistik. Dalam Syair Lampung Karam
yang panjangnya 38 halaman dan 374 bait itu, Muhammad Saleh secara
dramatis menggambarkan bencana hebat yang menyusul letusan Gunung
Krakatau pada tahun 1883.
Ia menceritakan kehancuran
desa-desa dan kematian massal akibat letusan itu. Daerah-daerah seperti
Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang,
Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Kuala,
Rajabasa, Tanjung Karang, juga Pulau Sebesi, Sebuku, dan Merak luluh
lantak dilanda tsunami, lumpur, serta hujan abu dan batu.
Pengarang menceritakan betapa
dalam keadaan yang memilukan dan kacau-balau itu orang masih mau saling
menolong satu sama lain. Namun, tak sedikit pula yang mengambil
kesempatan untuk memperkaya diri sendiri dengan mengambil harta benda
dan uang orang lain yang ditimpa musibah.
Selain menelusuri edisi-edisi
terbitan Syair Lampung Karam yang masih tersisa di dunia sampai
sekarang, penelitian Suryadi juga menyajikan transliterasi (alih
aksara) teks syair ini dalam aksara Latin.
”Saya berharap Syair Lampung
Karam dapat dibaca oleh pembaca masa kini yang tidak bisa lagi membaca
aksara Arab-Melayu (Jawi). Lebih jauh, saya ingin juga membandingkan
pandangan penulis pribumi (satu-satunya itu) dengan penulis asing
(Belanda/Eropa) terhadap letusan Gunung Krakatau,” tutur Suryadi.
Peneliti dan dosen Leiden
University ini menambahkan, teks syair ini bisa direvitalisasi untuk
berbagai kepentingan, misalnya di bidang akademik, budaya, dan
pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan untuk mengemaskinikan teks
Syair Lampung Karam itu dalam rangka agenda tahunan Festival Krakatau.
Juga dapat direvitalisasi dan diperkenalkan untuk memperkaya dimensi
kesejarahan dan penggalian khazanah budaya dan sastra daerah Lampung.
0 comments:
Post a Comment